Arif Rachman Arifin divonis pidana penjara 10 bulan atas kasus obstruction of justice atau perintangan penyidikan perkara kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Mantan polisi Ferdi Sambo dinyatakan bersalah setelah terbukti ikut merusak rekaman CCTV di sekitar TKP penembakan Yosua di Polsek Duren Tiga, rumah dinas Sambo di Jakarta Selatan.
“Terdakwa Arif Rachman Arifin telah diyakinkan secara hukum bersalah atas perbuatan pidana yang disengaja dan melawan hukum memanipulasi segala bentuk informasi elektronik publik bersama. Saya menyatakan bahwa saya telah dibuktikan dengan kekuatan,” kata hakim dalam persidangan di Selatan. Pengadilan Negeri Jakarta (PN Jaksel), Kamis (23 Februari 2023).
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 bulan dan pidana denda sebesar 10 juta subsider 3 bulan kurangan,” lanjut hakim.
Vonis terhadap Arif dijatuhkan setelah proses panjang di persidangan. Sebelumnya, dalam sidang, Arif banyak mengungkap soal kejanggalan peristiwa yang terekam di CCTV kaitannya dengan narasi kematian Yosua yang semula disampaikan Sambo.
Dia juga mengungkap perintah dan ancaman Sambo soal perusakan rekaman CCTV itu.
Bahkan, pernah dalam sekali persidangan, Arif bersitegang dengan Sambo lantaran keterangannya berlawanan dengan pengakuan sang mantan atasan.
Berikut jejak perlawanan Arif Rachman Arifin ke Ferdy Sambo dalam perkara obstruction of jusctice.
Endus kejanggalan
Keterlibatan Arif dalam perkara ini bermula ketika dia ikut menonton rekaman CCTV sekitar rumah dinas Ferdy Sambo yang tak lain merupakan TKP kematian Brigadir J.
Arif menonton CCTV tersebut karena diajak oleh bawahannya, Chuck Putranto. Sementara, Chuck mendapat perintah untuk menonton langsung dari Sambo.
Selain Arif dan Chuck, rekaman CCTV itu juga disaksikan bersama-sama oleh Baiquni Wibowo dan Ridwan Rhekynellson Soplanit pada Selasa (12/7/2022) atau empat hari pascakematian Brigadir J.
Mulanya, tak ada yang aneh dari rekaman CCTV tersebut. Sampai akhirnya, salah satu rekaman CCTV memperlihatkan kedatangan Sambo di rumah dinasnya sesaat sebelum kematian Yosua, Jumat (8/7/2022) sore.
Sontak, rekaman itu mengejutkan Arif. Sebab, menurut narasi yang beredar, Sambo tiba setelah Yosua tewas terlibat baku tembak dengan Richard Eliezer atau Bharada E.
Sementara, dalam rekaman tersebut, Yosua masih hidup dan berdiri di taman rumah ketika Sambo tiba.
“Melihat keadaan sebenarnya terkait keberadaan Nofriansyah Yosua Hutabarat masih hidup, akhirnya perasaan terdakwa Arif Rachman Arifin sangat kaget karena tidak menyangka,” demikian petikan dakwaan Arif yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang di PN Jaksel, Senin (17/10/2022).
Masih menurut dakwaan jaksa, setelah melihat rekaman tersebut, Arif menghubungi Hendra Kurniawan yang saat itu menjabat sebagi Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal) Divisi Propam Polri.
Dengan suara bergetar dan takut, Arif melaporkan fakta soal kematian Brigadir J yang dia lihat dari rekaman CCTV.
“Mendengar suara terdakwa Arif Rachman Arifin melalui telepon gemetar dan takut, lalu saksi Hendra Kurniawan menenangkannya dan meminta agar pada kesempatan pertama ini terdakwa Arif Rachman Arifin dan saksi Hendra Kurniawan menghadap saksi Ferdy Sambo,” ujar jaksa.
Berangkat dari situ, Hendra mengajak Arif bertemu Sambo yang saat itu masih menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri.
Hendra melaporkan bahwa Arif melihat ada yang tak sesuai antara rekaman CCTV dengan narasi kematian Yosua yang disampaikan Sambo.
Namun, hal itu buru-buru disangkal Sambo. Dengan nada marah, mantan jenderal bintang dua tersebut justru mempertanyakan mengapa Arif dan Hendra tak percaya pada dirinya.
Sambo juga mengancam Arif agar tak membocorkan rekaman CCTV itu. Bahkan, dia memerintahkan Arif menghapus dan memusnahkan rekaman tersebut.
“Saksi Ferdy Sambo meminta terdakwa Arif Rachman Arifin untuk menghapus dan memusnahkan fail tersebut dengan kalimat ‘kamu musnahkan’ dan ‘hapus semuanya’,” kata jaksa.
Arif yang saat itu masih berpangkat perwira menengah dengan gelar Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) pun tak berani melawan.
Setelah bertemu Sambo, dia memerintahkan Baiquni Wibowo menghapus salinan rekaman CCTV tersebut. Arif juga mematahkan laptop milik Baiquni yang sempat digunakan untuk menyalin rekaman CCTV itu.
Klaim Sambo
Namun, cerita versi Ferdy Sambo sedikit berbeda. Mantan perwira tinggi Polri itu bilang, Hendra Kurniawan tak terlibat dalam komunikasinya bersama Arif.
Sambo mengatakan, Rabu (13/7/2022) dini hari, Arif berulang kali menelepon dia, meminta untuk menghadap.
“Pada saat 13 (Juli) subuh itu ada missed call dari terdakwa Arif berulang kali. Kemudian saya pagi baru membuka karena saya sudah istirahat,” kata Sambo saat hadir sebagai saksi dalam sidang perintangan penyidikan di PN Jaksel, Kamis (5/1/2023).
“Pada waktu itu saya sampaikan, ‘Ada apa, Rif?’, ‘Mau jelaskan masalah CCTV’, saya sampaikan, ‘Ya sudah, nanti malam aja di kantor karena saya ada kegiatan dulu’,” ujarnya.
Malam harinya, kata Sambo, Arif menghadap seorang diri di ruangannya di Mabes Polri, tanpa pendampingan Hendra.
Masih menurut penuturan Sambo, Arif menyampaikan bahwa dia telah menjalankan perintah untuk menonton rekaman CCTV. Arif melaporkan bahwa rekaman CCTV itu berbeda dengan narasi kematian yang disampaikan Sambo.
Seketika Sambo terkejut atas laporan Arif. Namun, dia meminta anak buahnya itu percaya pada keterangannya.
Sambo pun mengakui dirinya sempat mengancam Arif agar tak membocorkan rekaman CCTV itu. Dia juga tak mengelak telah memerintahkan Arif menghapus dan menghancurkan dokumen tersebut.
“Kalau ada apa-apa kamu yang tanggung jawab,” kata Sambo ke Arif saat itu.
Melawan
Mendengar kesaksian Sambo, Arif merasa tak terima. Dalam persidangan yang sama, dia membantah keras pernyataan mantan atasannya itu.
Arif menegaskan bahwa dirinya melapor perihal kejanggalan CCTV tersebut ke Hendra Kurniawan. Dari situ, Hendra menghubungi Sambo meminta untuk menghadap.
“Pada tanggal 13 Juli dini hari saya tidak pernah menelpon dan menerima telepon dari Pak Ferdy Sambo, terlebih mendapat perintah untuk menghadap pada malam harinya,” kata Arif di persidangan.
Dengan nada meninggi, Arif berkata, tak mungkin dirinya berani menghadap Sambo seorang diri. Sebab, saat itu Sambo berpangkat jenderal dua Polri, sementara dirinya merupakan perwira menengah berpangkat AKBP.
Jika saja berani, ucap Arif, dia justru tak melaporkan perihal ini ke Sambo, tetapi langsung ke Kapolri.
“Tidak mungkin saya melihat suatu keanehan terus kemudian saya yang menghadap kepada Kadiv Propam, sepertinya mental saya belum cukup kuat, Yang Mulia,” kata Arif.
“Kalau sudah cukup kuat, mungkin saya menghadapnya Kapolri, Yang Mulia, bukan Kadiv Propam,” lanjut dia.
Namun, mendengar keterangan Arif, Sambo tetap pada keterangannya.
Vonis lebih ringan
Oleh jaksa, Arif sedianya dituntut pidana penjara 1 tahun. Dia juga dituntut pidana denda Rp 10 juta subsider 3 bulan kurungan.
Dalam pleidoi atau nota pembelaannya, Arif meminta dibebaskan. Dia mengaku tak berniat merintangi penyidikan perkara kematian Brigadir J.
Arif mengaku tertekan dan merasa terancam atas perintah Sambo sehingga nekat merusak rekaman CCTV terkait kasus Yosua.
“Posisi yang saya alami adalah pimpinan saya merupakan sosok yang tidak menjaga. Pimpinan saya malah menarik saya ke dalam jurang dengan mengancam agar patuh,” kata Arif dalam sidang, Jumat (3/2/2023).
Namun demikian, keinginan Arif itu tak dikabulkan hakim. Majelis Hakim PN Jaksel tetap mengganjar Arif dengan hukuman pidana, meski lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni 10 bulan penjara.
“Hal memberatkan, perbuatan terdakwa bertentangan dengan asas profesionalisme yang berlaku sebagai anggota Kepolisian Republik Indonesia,” kata hakim dalam persidangan di PN Jaksel, Kamis (23/2/2023).
Dalam menjatuhkan putusan, hakim mempertimbangkan sejumlah hal yang dinilai meringankan hukuman Arif, salah satunya terdakwa belum pernah dipidana.
Selain itu, Arif juga masih punya tanggungan keluarga. eks Wakaden B Biro Paminal Propam Polri tersebut juga dinilai sopan selama persidangan.
“Terdakwa bersikap sopan dan bersikap kooperatif sehingga membuat pengungkapan peristiwa penembakan Brigadir Yosua Hutabarat menjadi terang,” ujar hakim.