Perbedaan Tata Ruang Kota Garut Di Abad 20 Dengan Sekarang


Warning: Undefined array key "tie_hide_meta" in /home/u992852709/domains/kontermini.com/public_html/wp-content/themes/sahifa/framework/parts/meta-post.php on line 3

Warning: Trying to access array offset on value of type null in /home/u992852709/domains/kontermini.com/public_html/wp-content/themes/sahifa/framework/parts/meta-post.php on line 3

Garut Kota Intan Menurut Kunt Sophiant dalam bukunya yang berjudul Sejarah Kota Garut menjelaskan bahwa perkembangan fisik Kota Garut dapat dibagi dalam tiga periode. Pertama tahun 1813-1920 merupakan masa peralihan Kabupaten Galtri yang semula di Limbangan. Pada periode pertama ini fisik kota Garut berkembang secara linear. Pada periode pertama, pemerintah Hindia Belanda membangun berbagai sarana dan prasarana perkotaan sesuai dengan kepentingannya. Kawasan pemukiman dibangun dalam jalur panjang di sepanjang Jalan Masyarakat, yang membentang dari barat ke timur.

Periode perkembangan kedua terjadi pada tahun 1920-1940 bentuk fisik kota Garut mulai bersifat konsentris alias berpusat. Pada periode ini pusat perkotaan mulai dibangun oleh pemerintah seperti stasiun kereta api, sekolah, gedung pemerintahan, kantor pos, pertokoan hingga hotel.

Untuk pusat perekonomian kota seperti pertokoan dan hotel pada masa ini sebagain besar dimiliki oleh orang-orang bangsa Eropa, Tiongkok, India dan Jepang sedangkan pusat perekonomian pribum tetap berada di pasar. Di periode kedua ini fisik kota Garut mulai berkembang, pada periode ini Kota Garut tidak hanya memiliki pusat pemerintah, Kota Garut juga memiliki pusat perekonomian, sarana pendidikan dan memiliki sentra pariwisata yang lebih teratur.

Periode ketiga terjadi pada tahun 1940 sampai dengan 1960, di periode ini perkembangan tata ruang Kota Garut sudah melewati pola konsentris dan pola sektoral, tata ruang Kota Garut berkembang menjadi lebih kompleks. Pada awalnya tata ruang kota Garut berbentuk satu inti yang kemudian inti tersebut berkembang. Pada periode ini terdapat inti baru yang muncul sehingga menyebarnya fasilitas dan pusat kehidupan ke berbagai penjuru. Di masa ini zona-zona perekonomian menyebar tidak hanya ada di pusat kota saja.

Pemukiman penduduk semakin meluas tidak hanya mengelilingi alun-alun saja, masyarakat Garut mulai menempati Desa Kota Wetan yang merupakan daerah penyangga Garut Kota. Pada masa ini pemukiman warga dibangun mengikuti arah jalan utama dan jalan subregional sehingga tata ruang Kota Garut berbentuk finger city.

Dilihat dari perkembangan tata ruang Kota Garut pemukiman masyarakat Garut menunjuk kecenderungan ke arah selatan – timur karena pada arah tersebut keadaan tanahnya stabil dan datar sehingga cocok untuk dijadikan pemukiman warga karena wilayah utara – barat merupakan wilayah pegunungan yang dimana tanahnya terjal.

Sejarah Kabupaten Garut berawal dari pembubaran Kabupaten Limbangan pada tahun 1811 oleh Daendels dengan alasan produksi kopi dari daerah Limbangan menurun hingga titik paling rendah nol dan bupatinya menolak perintah menanam nila (indigo). Pada tanggal 16 Pebruari 1813, Letnan Gubernur di Indonesia yang pada waktu itu dijabat oleh Raffles, telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan kembali Kabupaten Limbangan yang beribu kota di Suci. Untuk sebuah Kota Kabupaten, keberadaan Suci dinilai tidak memenuhi persyaratan sebab daerah tersebut kawasannya cukup sempit.

Berkaitan dengan hal tersebut, Bupati Limbangan Adipati Adiwijaya (1813-1831) membentuk panitia untuk mencari tempat yang cocok bagi Ibu Kota Kabupaten. Pada awalnya, panitia menemukan Cimurah, sekitar 3 Km sebelah Timur Suci (Saat ini kampung tersebut dikenal dengan nama Kampung Pidayeuheun). Akan tetapi di tempat tersebut air bersih sulit diperoleh sehingga tidak tepat menjadi Ibu Kota. Selanjutnya panitia mencari lokasi ke arah Barat Suci, sekitar 5 Km dan mendapatkan tempat yang cocok untuk dijadikan Ibu Kota. Selain tanahnya subur, tempat tersebut memiliki mata air yang mengalir ke Sungai Cimanuk serta pemandangannya indah dikelilingi gunung, seperti Gunung Cikuray, Gunung Papandayan, Gunung Guntur, Gunung Galunggung, Gunung Talaga Bodas dan Gunung Karacak.

Baca Juga :  Terkait Tata Ruang Daerah, Bangka Tengah Mulai Melakukan Singkronisasi

Saat ditemukan mata air berupa telaga kecil yang tertutup semak belukar berduri (Marantha), seorang panitia “kakarut” atau tergores tangannya sampai berdarah. Dalam rombongan panitia, turut pula seorang Eropa yang ikut membenahi atau “ngabaladah” tempat tersebut. Begitu melihat tangan salah seorang panitia tersebut berdarah, langsung bertanya : “Mengapa berdarah?” Orang yang tergores menjawab, tangannya kakarut. Orang Eropa atau Belanda tersebut menirukan kata kakarut dengan lidah yang tidak fasih sehingga sebutannya menjadi “gagarut”.

Sejak saat itu, para pekerja dalam rombongan panitia menamai tanaman berduri dengan sebutan “Ki Garut” dan telaganya dinamai “Ci Garut”. (Lokasi telaga ini sekarang ditempati oleh bangunan SLTPI, SLTPII, dan SLTP IV Garut). Dengan ditemukannya Ci Garut, daerah sekitar itu dikenal dengan nama Garut.. Cetusan nama Garut tersebut direstui oleh Bupati Kabupaten Limbangan Adipati Adiwijaya untuk dijadikan Ibu Kota Kabupaten Limbangan.

Pada tanggal 15 September 1813 dilakukan peletakkan batu pertama pembangunan sarana dan prasarana ibukota, seperti tempat tinggal, pendopo, kantor asisten residen, mesjid, dan alun-alun. Di depan pendopo, antara alun-alun dengan pendopo terdapat “Babancong” tempat Bupati beserta pejabat pemerintahan lainnya menyampaikan pidato di depan publik. Setelah tempat-tempat tadi selesai dibangun, Ibu Kota Kabupaten Limbangan pindah dari Suci ke Garut sekitar Tahun 1821. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal No: 60 tertanggal 7 Mei 1913, nama Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut dan beribu kota Garut pada tanggal 1 Juli 1913. Pada waktu itu, Bupati yang sedang menjabat adalah RAA Wiratanudatar (1871-1915). Kota Garut pada saat itu meliputi tiga desa, yakni Desa Kota Kulon, Desa Kota Wetan, dan Desa Margawati. Kabupaten Garut meliputi Distrik-distrik Garut, Bayongbong, Cibatu, Tarogong, Leles, Balubur Limbangan, Cikajang, Bungbulang dan Pameungpeuk.

Pada tahun 1915, RAA Wiratanudatar digantikan oleh keponakannya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929). Pada masa pemerintahannya tepatnya tanggal 14 Agustus 1925, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal, Kabupaten Garut disahkan menjadi daerah pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom). Wewenang yang bersifat otonom berhak dijalankan Kabupaten Garut dalam beberapa hal, yakni berhubungan dengan masalah pemeliharaan jalan-jalan, jembatan-jembatan, kebersihan, dan poliklinik. Selama periode 1930-1942, Bupati yang menjabat di Kabupaten Garut adalah Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa. Ia diangkat menjadi Bupati Kabupaten Garut pada tahun 1929 menggantikan ayahnya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929).

Perkembangan Fisik Kota
Sampai tahun 1960-an, perkembangan fisik Kota Garut dibagi menjadi tiga periode, yakni pertama (1813-1920) berkembang secara linear. Pada masa itu di Kota Garut banyak didirikan bangunan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingan pemerintahan, berinvestasi dalam usaha perkebunan, penggalian sumber mineral dan objek wisata. Pembangunan pemukiman penduduk, terutama disekitar alun-alun dan memanjang ke arah Timur sepanjang jalan Societeit Straat.

Periode kedua (1920-1940), Kota Garut berkembang secara konsentris. Perubahan itu terjadi karena pada periode pertama diberikan proyek pelayanan bagi penduduk. Wajah tatakota mulai berubah dengan berdirinya beberapa fasilitas kota, seperti stasiun kereta api, kantor pos, apotek, sekolah, hotel, pertokoan (milik orang Cina, Jepang, India dan Eropa) serta pasar agenda event indonesia.

Periode ketiga (1940-1960-an), perkembangan Kota Garut cenderung mengikuti teori inti berganda. Perkembangan ini bisa dilihat pada zona-zona perdagangan, pendidikan, pemukiman dan pertumbuhan penduduk.