Unggahan video yang beredar di media sosial menyatakan bahwa berbicara sendiri, halusinasi atau halusinasi adalah tanda-tanda penyakit atau gangguan jiwa.
Video tersebut dibuat oleh akun TikTok ini pada Selasa (7/2/2023) dan diunggah kembali di media sosial Twitter pada Rabu (2/8/2023) oleh akun tersebut.
“When lo baru tau kalo suka ngomong sendiri & ngehalu adalah salah satu tanda mental illness,” narasi pembuat video.
Video ini pun menarik perhatian warganet hingga menuai lebih dari 2,7 juta tayangan. Adapun hingga Rabu siang, unggahan telah disukai oleh lebih dari 582.000 warganet dan dikomentari lebih dari 55.000 pengguna.
Dalam kolom komentar, sebagian besar warganet mengaku baru mengetahui informasi ini.
“serius khh? tapi gmna ya seru bgt astggsgsgs,” komentar salah satu warganet.
“walaupun udah tau juga masih tetap halu dan ngomong sendiri soalnya udah kebiasaan dari dulu dan bakalan susah ngilanginnya,” tulis warganet lain.
“aku gitu tiap hari aslinya karna ngerasa aja ga ada temen,” kata warganet lain.
Lantas, benarkah suka berbicara sendiri dan halusinasi adalah salah satu tanda mental illness?
Psikolog dari Unika Soegijapranata Semarang, Christin Wibhowo, mengatakan bahwa mental illness bukan sekadar berbicara sendiri.
Menurut dia, berbicara sendiri merupakan hal lumrah. Misalnya, apabila seseorang akan mengisi seminar, maka dia akan berlatih berbicara seorang diri.
“Yang menjadi patokan apakah seseorang mental illness atau tidak itu, apakah dia masih kontak dengan realita, dia masih sadar nggak dengan realita,” jelasnya, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (8/2/2023).
Menurut Christin, berbicara sendiri adalah hal wajar apabila seseorang tahu apa yang dilakukannya.
Dia mencontohkan, seseorang menirukan selebriti atau pemeran dalam film dan sadar bahwa itu adalah tiruan. Dalam artian, peniru tidak lantas menganggap dirinya benar-benar tokoh dalam film.
“Nah yang dinamakan mental illness adalah ketika ngomong sendiri itu kebawa sampai lupa berpijak pada realita. Jadi saya seolah-olah ngomong di depan banyak peserta dan saya lupa ini sedang ngomong sendiri,” kata dia.
“Atau setelah film selesai, masih berperilaku seperti pemain film. Padahal itu tidak nyata, itu yang mental illness,” imbuh Christin.
Halusinasi adalah salah satu ciri gangguan mental
Di sisi lain, dosen Unika Soegijapranata ini membenarkan, halu atau halusinasi adalah salah satu ciri gangguan mental.
Pasalnya, orang yang benar-benar mengalami halusinasi akan percaya pada sesuatu yang dia lihat, dengar, atau rasakan. Padahal, kata Christin, hal tersebut pada kenyataannya tidak ada.
“Jadi seperti yang sudah saya sampaikan tadi, kalau tidak sesuai dengan realita, itu berarti halusinasi,” ujar Christin.
Kendati begitu, dia menegaskan bahwa halusinasi berbeda dengan salah persepsi. Apabila seseorang melihat ilusi dan salah mengira sebuah keadaan, hal itu bukanlah termasuk halusinasi.
Misalnya, terang Christin, melihat handuk yang tengah dijemur bergerak tertiup angin. Namun, seseorang salah persepsi dan melihatnya seperti hantu.
“Tapi handuknya ada, ada realitanya, cuma salah menafsirkan. Itu oke. Tapi kalau sudah tidak ada realita, merasa mendengar atau meihat sesuatu padahal orang lain tidak, itu sudah menjadi ciri mental illness,” tutur dia.
Perlu diagnosis psikolog atau psikiater
Christin menjelaskan, deteksi dini gangguan jiwa dengan cara mencocokkan tanda-tanda yang tersebar di internet termasuk TikTok, sangat diperbolehkan.
Menurut dia, deteksi dini seperti swaperiksa dapat dilakukan dengan mengacu sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
Namun, diagnosis terkena mental illness atau gangguan mental tetap harus dilakukan oleh psikolog atau psikiater.
“Jadi kalau hanya di video-video itu kita untuk jaga-jaga saja, tetapi tidak usah mendiagnosis atau melabeli diri sendiri. Jangan self-diagnosed pokoknya,” tandasnya.